Cerita Edah, Perempuan Berusia 110 Tahun Saksi Kejamnya Jepang di Purwakarta, Dipaksa Jadi Romusha
Kisah nenek berusia 110 tahun, saksi kejamnya Jepang di Purwakarta. Dipaksa menjadi romusha dan ingat lagu Kimigayo.
Penulis: Ery Chandra | Editor: taufik ismail
Laporan wartawan Tribun Jabar, ery chandra
TRIBUNJABAR.ID, PURWAKARTA - Seorang perempuan tua duduk di teras rumahnya, di Kampung Pasir Muncang, RT 14/06, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta, Minggu (6/10/2019).
Namanya Edah. Usianya sudah satu abad lebih.
Ia merupakan saksi kejamnya pasukan Jepang di Purwakarta dan pernah merasakan jadi romusha.
Tahun 1942, warga Purwakarta berharap memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Namun mereka justru berhadapan dengan sejumlah prajurit jepang.
Edah (110) merupakan pekerja kasar yang jadi saksi hidup masa pendudukan Jepang sebelum kemerdekaan.
Saat Tribun Jabar berbincang dengan Edah dia masih bisa berkomunikasi dengan baik.
Meski, banyak lupa karena faktor usia, ia mencoba untuk mengingat saat menjadi romusha di zaman Jepang.
Saat itu, sebelum kependudukan Jepang hadir, bersama sang suami ia membuat gula aren untuk dijual dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Suami yang mengambil dari pohon aren, saya membuatnya. Mereka (Jepang) datang, kerja jadi terganggu," ujar Edah kepada Tribun Jabar.
Bersama romusha lain, mereka menjadi tenaga kasar untuk menggali parit, mencabut rerumputan, proyek pembangunan jalan, memetik daun teh, kerja di sawah, hingga membuat gua untuk persembunyian.
Mereka tak memperoleh upah sepeser pun.

Edah mengatakan, suaminya, Atori, yang meninggal sekitar 1996, ketika menjadi romusha kerap kali mengalami sakit berminggu-minggu lamanya karena kelelahan saat bekerja.
"Saya pernah macul tanah untuk membuat parit dan jalan. Suami kerja di gua. Dulu yang jadi romusha banyak. Seingat saya tiap kampung diambil lima orang. Dipaksa kerjanya, tidak dikasih makan dan minum. Kami bawa bekal sendiri," ujar Edah.
Saat melakukaan pekerjaan mereka selalu diawasi oleh mandor. Prajurit Jepang berjaga-jaga dengan jumlah cukup banyak.
"Sebelum merdeka, kami baru berhenti kerja," katanya.
Ia menambahkan pada saat zaman Jepang bersama rekan-rekan sesama romusha hingga warga menemukan gua Jepang sekitar 2000-an, mereka tak pernah membicarakan peristiwa. Bahkan hingga teman-temannya meninggal dunia.
"Dulu kami disumpah, enggak boleh bercerita kepada keluarga soal kerjaan," ujarnya.
Edah yang dikaruniai delapan orang anak ini menceritakan prajurit Jepang saat itu membuat markas di kampung mereka.
"Prajurit Jepang galak, sering melotot sama kami. Warga tinggal di sini yang telah berumah tangga hampir semuanya kerja. Rumah di sini masih terhitung jari," ujarnya.
Ia menambahkan gua Jepang dan jalan merupakan hasil pekerjaan mereka tempo dulu.
Sejak gua ditinggalkan pengerjaannya karena Jepang kalah perang dunia kedua ia hingga kini tak pernah menyambangi gua tersebut.
"Enggak pernah ke sana, takut soalnya. Terakhir ke sana sudah lupa," katanya.
Satu hal lagi yang Edah ingat. Yakni lagu Kimigayo.
Lagu itu dulu wajib dinyanyikan saat sekolah dan latihan baris-berbaris.
• Misteri Goa Jepang di Purwakarta, Dihuni Banyak Kelelawar, Mirip di Vietnam