Fakta Singkat Johannes Marliem, Saksi Kunci Kasus Korupsi e-KTP yang Ditemukan Tewas di AS
Hal itu diperbincangkan setelah KPK melakukan pertemuan dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R. Donovan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bicara soal Johannes Marliem, saksi kunci kasus korupsi e-KTP yang ditemukan tewas di rumahnya di Los Angeles, Amerika Serikat pada Kamis 10 Agustus 2017.
Hal itu diperbincangkan setelah KPK melakukan pertemuan dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R. Donovan.
"Soal kematiannya (Johannes) itu kewenangan FBI (Biro Investigasi Federal Amerika Serikat)
dan polisi di AS," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (26/2/2019).
Selain perkara penyebab tewasnya Johannes, KPK juga membahas soal aset yang dimiliki mantan CEO dan pendiri Marliem Marketing Group itu.
"Aset yang berhubungan dengan e-KTP sudah diidentifikasi tapi pengalihannya dari AS ke Indonesia masih proses. Dan salah satu itu (aset) yang kami diskusikan dan kerjakan," ujar Laode.
Siapa sebenarnya Johannes Marliem? Dan apa perannya dalam pengadaan proyek e-KTP? Berikut 3 hal yang dihimpun Tribunnews.com mengenai Johannes:
1. Pegang data kependudukan e-KTP
Johannes merupakan Direktur Biomorf Lone LLC Amerika Serikat. Perusahaan inilah yang menurut KPK mengelola automated finger print identification system (AFIS) merk L-1 pada proyek e-KTP.
Keterlibatannya dalam proyek e-KTP dimulai dari pembicarannya dengan mantan Dirjen Kependudukan Sipil Sugiharto untuk memberikan teknologi yang terbaik demi kesuksesan program e-KTP.
Dalam sebuah wawancara kepada media, Johannes mengaku memberikan harga yang wajar dan tidak digelembungkan kepada pihak konsorsium.
Menurutnya, dengan data biometrik yang sangat valid yang terbenam di dalam e-KTP, dapat membantu publik untuk melakukan berbagai transaksi.
“KTP-el saat ini sudah siap. Mau dijadikan e-Toll bisa, jadi e-money juga bisa. Jadi, berbagai kartu yang dikeluarkan pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, BPJS dan sebagainya itu hanya pemborosan,” ujar Johannes ketika itu berkomentar.
Walaupun perusahaannya berbasis di Amerika Serikat, namun Johannes berani menjamin data-data kependudukan Indonesia tidak akan bocor ke pihak lain. Sebab, server dan storage systemnya berada di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.
Karena perusahaannya berasal dari AS pula, yang membuat dia tidak bisa seenaknya main suap pemerintah. Sebab, jika terbukti melanggar maka perusahaannya bisa dijerat dengan FCPA (Foreign Corrupt Practice Act) dan harus membayar denda yang besar.
2. Miliki 500 GB percakapan proyek e-KTP
Kepada wawancara sejumlah media lokal, Johannes mengaku memiliki rekaman percakapan orang-orang yang terlibat proyek e-KTP sebesar 500 gigabyte. Isi rekaman memuat seluruh tersangka yang berperan dalam mega korupsi e-KTP, termasuk dengan Setya Novanto.
“Mau jerat siapa lagi? Saya punya rekamannya,” kata Johannes.
KPK pun sudah pernah dua kali memeriksa Johannes di dua tempat yang berbeda yakni di Amerika Serikat dan Singapura. Walaupun belakangan, Johannes mengaku rekaman itu tidak ingin ia beberkan ke publik.
Saat itu, ia mengaku rekaman itu hanya diperdengarkan ke media, tetapi bukan untuk ditulis. Itu sebabnya, ia mengaku kecewa terhadap hasil wawancara dengan media tersebut. Sebab, posisinya sebagai saksi kunci justru di-blow up. Akibatnya, ia merasa nyawanya terancam pasca wawancara itu.
“Jadi, tolong jangan diplintir lagi. Saya tidak ada kepentingan soal rekaman. Dan ada rekaman SN (Setya Novanto) atau tidak, saya juga tidak tahu. Namanya juga catatan saya,” ujarnya.
3. Saksi ketiga yang meninggal
Johannes Marliem bukan satu-satunya saksi yang meninggal ketika KPK tengah mengusut kasus mega korupsi itu. Ada dua saksi lainnya yang diketahui sudah wafat. Mereka adalah politikus Partai Demokrat Mayor Jenderal TNI (Purn) Ignatius Mulyono dan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Mustokoweni.
Ignatius meninggal di RS Medistra Jakarta pada 1 Desember 2015. Mantan anggota Komisi III itu meninggal karena penyakit jantung. Sedangkan, Mustokoweni meninggal pada 18 Juni 2010 di RS Elizabeth Semarang, Jawa Tengah.
Dalam surat dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, Ignatius dan Mustokoweni diduga menerima aliran dana dari korupsi proyek KTP Elektronik. Ignatius disebut menerima uang sebesar 258 ribu dollar AS, sedangkan Mustokoweni tertulis menerima 408 ribu dollar AS.
Walaupun kematian Johannes Marliem menjadi pukulan telak bagi KPK, namun lembaga antikorupsi yakin hal tersebut tidak menghambat proses penanganan perkara yang sedang berlangsung.(*)