Menerka-nerka Apa Penyebab Tsunami di Selat Sunda yang Menerjang Banten dan Lampung

Menerka-nerka apa yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda yang menerjang pesisir pantai di Serang dan Pandeglang.

Editor: taufik ismail
istimewa
Kerusakan di pesisi pantai akibat tsunami di Anyer. 

TRIBUNJABAR.ID - Tanpa ada guncangan gempa tektonik, tanpa terdeteksi seismograf Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tsunami tiba-tiba menggulung sebagian besar pesisir Banten dan Lampung.

Hingga 12 jam pascatsunami menggulung, BMKG menduga, tsunami yang terjadi Sabtu (22/12/2018) malam, diakibatkan oleh aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau.

Mengutip pernyataan resmi dari Kepala BMKG Dwikorita Kurnawati, tsunami Pandeglang dinyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kegempaan tektonik.

Sejak Sabtu malam, Dwikorita menjelaskan, ada dua peristiwa penting yang diperkirakan menjadi pemicu kuat gelombang tsunami di Selat Sunda.

Kejadian pertama, adalah potensi gelombang tinggi di rentang 21-25 Desember di sepanjang perairan Selat Sunda. Gelombang pasang ini awalnya diprediksi bisa mencapai ketinggian dua meter. Seperti yang diketahui, menjelang akhir Desember ini, gelombang pasang berhubungan erat dengan fenomena bulan purnama.

Kerusakan akibat tsunami di Anyer.
Kerusakan akibat tsunami di Anyer. (istimewa)

Kemudian, kejadian kedua yang akhirnya memicu gelombang tsunami diduga karena terjadinya erupsi Gunung Anak Krakatau.

Informasi erupsi ini sudah disampaikan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM sejak hari Jumat (21/12/2018) pukul 13.15. Selama beberapa waktu setelah itu, erupsi terjadi beberapa kali, sementara Gunung Anak Krakatau ditetapkan dalam level waspada.

Lantas dari kedua kejadian tersebut, bagaimana gelombang tsunami bisa terbentuk?

Dua pihak yang berkepentingan untuk menjawab pertanyaan tersebut. BMKG dan Badan Geologi Kementerian ESDM masih dalam tahap indikasi awal. Dugaan itu mengerucut pada terjadinya longsoran material dari lereng vulkanik Gunung Anak Krakatau.

Gunung api setinggi 813 meter di atas permukaan laut ini berada di tengah-tengah Selat Sunda. Material letusannya pun langsung mengarah ke celah lautan sempit yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Mobil terbawa tsunami.
Mobil terbawa tsunami. (istimewa)

Penjelasan ini disampaikan oleh Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono. Dalam keterangan persnya yang diterima ACTNews, Sabtu malam (22/12/2018) sekitar pukul 21.27 WIB tiba-tiba terdeteksi sebuah gelombang yang diduga tsunami setinggi 0,9 meter.

Gelombang ini terbaca oleh data papan pengukuran pasang surut tidegauge yang dipasang di Marina Jambu, Anyer, Banten.

“Karena perkiraan gelombang pasang surut air laut itu setinggi dua meter. Lalu ditambahkan dengan dugaan gelombang tsunami setinggi 0,9 meter akibat longsoran material erupsi Gunung Anak Krakatau, maka hasil akhirnya ketinggian gelombang tsunami bisa mencapai 3 meter. Itu alasan kenapa gelombang air bisa sampai ke daratan,” ujar Rahmat.

Namun, informasi awal ini masih berupa dugaan. Dwikorita menegaskan masih harus dilakukan pengecekan lebih lanjut untuk memastikan indikasinya. BMKG telah melakukan pengambilan data-data terbaru, menyambungkan benang merah antara gelombang tinggi di bulan purnama, dan erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi bersamaan.

Saat ini Tim Emergency Response ACT tengah terjun langsung ke sejumlah titik terdampak di Pandeglang, Lampung Selatan, dan Serang.

Evakuasi korban tsunami.
Evakuasi korban tsunami. (istimewa)
Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved