Sebulan Berlalu, Ini Kondisi Sekarang di Palu, Tim ACT Masih Bertahan Membantu Korban

Sebulan berlalu, ini kondisi terkini Palu dan sekitarnya. Tim dari ACT masih bertahan di sana untuk membantu para korban.

Editor: taufik ismail
istimewa
Rumah dan mobil yang hancur karena likuefaksi. 

TRIBUNJABAR.ID, PALU – Deretan nama di papan kayu itu mulai terlihat pudar. Tertulis jelas di atas papan nama-nama korban ditemukan dan korban hilang akibat tsunami yang menerjang Kompleks Muara, sebuah perumahan nelayan yang berada di pinggiran Dermaga Pelabuhan Donggala.

Minggu (28/10/2018), tepat sebulan lalu, gelombang besar menerjang, bahkan menenggelamkan puluhan rumah persis di titik papan kayu itu dipasang.

Tanahnya ambles segaris jalan dan puluhan rumah di atasnya kini berubah menjadi lautan.

Semua rumah berikut belasan penghuninya tenggelam digulung tsunami setelah sebelumnya sempat dihentak gempa besar.

Sebulan berselang pascabencana besar itu, deretan nama-nama korban yang hilang, belum berubah. Masih ada 12 orang warga Kompleks Muara di Donggala yang hilang tanpa jejak.

Korban yang masih hilang akibat gempa dan tsunami di Palu.
Korban yang masih hilang akibat gempa dan tsunami di Palu. (istimewa)

Nama-nama korban ditemukan dan masih hilang akibat tsunami di Kampung Muara, Pelabuhan Donggala

Hal yang sama juga terlihat di seantero Kota Palu. Poster-poster yang dicetak di atas kertas A4 bertebaran di tiang-tiang listrik atau di tembok-tembok pinggir jalan. Poster sederhana itu mengabarkan duka dan kabar kehilangan.

Biasanya tertera satu buah foto, disertai dengan tulisan besar “Dicari”, ditambah keterangan “Anak Hilang Balaroa” atau “Terakhir terlihat di Pantai Talise”.

Poster itu sengaja dibuat oleh keluarga terdekat, tanda harapan ditemukan masih ada. Mereka berharap keajaiban menyelamatkan keluarga mereka yang diduga digulung tsunami di Pantai Talise atau diremukkan likuefaksi di wilayah Balaroa dan Petobo.

Sebulan sudah duka besar itu dikenang. Di Kota Palu, sisa puing-puing gempa, tsunami dan likuefaksi belum sepenuhnya dibersihkan, walau perlahan kota ini mulai ramai dengan kemacetan.

Di Sigi dan Donggala, mayoritas warganya yang terdampak gempa sudah sebulan menghabiskan siang yang terik juga malam-malam yang dingin di bawah tenda terpal apa adanya.

Memasuki pekan keempat ini pula, remuk redam tak berbentuk di Perumahan Balaroa, imbas dari likuefaksi, mulai diratakan seluruhnya.

Tak ada lagi pencarian jenazah. Pencarian yang berhenti menandakan satu pesan, keluarga yang belum menemukan sanak saudaranya di Perumahan Balaroa diminta untuk segera mengikhlaskan.

Sebulan pascagempa, tsunami dan likuefaksi, sudah tak ada lagi proses pencarian jenazah di Petobo. Ribuan rumah di lokasi ini, dibiarkan begitu saja terkubur oleh lumpur. Lumpur yang keluar dari bawah tanah, lumpur yang bergerak liar sesaat setelah gempa besar sebulan lalu.

Teronggok dan menjadi saksi mati pun berlaku bagi Kapal Sabuk Nusantara 39. Sebulan lalu, ketika gelombang tsunami menerjang Pelabuhan Wani, kapal ini terempas, meloncat ke daratan. Kapal itu sampai hari ini masih dibiarkan termenung senyap.

“Biarkan saja di situ kapalnya, biar jadi museum. Jadi pengingat pernah ada tsunami besar di Kota Palu,” kata Aco, penyintas tsunami yang selamat. Rumahnya di belakang Pelabuhan Wani rata dengan tanah dihajar gelombang tsunami.

Kapal terdampar akibat tsunami Palu.
Kapal terdampar akibat tsunami Palu. (istimewa)

Setelah sebulan berlalu, di antara rasa getir dan harapan yang bercampur, juga ada asa untuk pulih dan bangkit. Seperti semangat yang tertoreh bersama senyum ramah Candaprasta (12), penyintas likuefaksi di wilayah Sibalaya Utara, Kecamatan Tanambulava, Kabupaten Sigi.

Sore itu, Canda, panggilan akrabnya membagi semangatnya, bercerita tentang likuefaksi yang meruntuhkan rumah dan sekolahnya.

“Rumahku runtuh, diguncang gempa. Kalau sekolahku SD Inpres Sibalaya Selatan hanyut. Sekolahku dibawa air (lumpur) dan sudah hanyut. Aku tidak punya lagi seragam sekolah, buku, jilbab, Alquran, (buku) iqro, dan perlengkapan sekolah lainnya. Aku mau sekolah lagi, mau punya rumah baru lagi,” ujar Canda membagi asanya, sebulan setelah gempa bergegar hebat.

Ada juga semangat untuk bangkit meski dipupuk dengan air mata oleh Andayani, seorang ibu berusia 35 tahun asal Dusun 1, Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi.

Tepat di hari ulang tahun sebulan pascagempa, Andayani menitipkan harapannya yang sederhana.

“Kami ini sudah sebulan tinggal di tenda. Tidak mengharap banyak. Kami ingin seperti dulu, tapi bukan ingin punya rumah. Kami hanya ingin anak-anak tetap sekolah. Tidak banyak berharap. Cuma itu saja. Makanan, obat-obatan. Karena anak-anak masih kecil, yang balita, kan, tidak tahu apa-apa,” kata Andayani, sembari meluapkan air matanya.

Andayani mengisahkan pula tentang rumahnya yang hancur akibat guncangan gempa, Jumat (28/9/2018) sebulan silam. “Rumah kami runtuh total. Tidak ada lagi biar satu tiang berdiri. Tidak bisa dihuni lagi,” ujarnya.

Andayani tak mengharap muluk. Sebulan setelah gempa, ia tak berhenti mengucapkan syukur.

“Untuk sekarang ini alhamdulillah sudah sangat cukup di tenda seperti ini. Biarlah dulu begini hanya punya tenda. Yang penting makanan tercukupi. Karena anak-anak, kan, juga banyak di sini. Kalau kami orang tuanya masih bisa makan pisang, pepaya. Namun untuk anak-anak, kan, dia tidak tahu apa-apa, mereka tidak tahu mengapa hidup susah begini setelah gempa,” kata Andayani, sekali lagi menyeka air matanya.

Satu bulan terlewati, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghitung jumlah pengungsi di seantero Palu-Sigi-Donggala mencapai 206.524 jiwa. Statistik pilu lain menyatakan gempa, tsunami, dan likuefaksi menyebabkan 2.086 korban meninggal dunia, sementara korban hilang mencapai 1.309 jiwa.

Bergegas memulihkan Palu-Sigi-Donggala, Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) juga masih terus berjibaku, bergerak dari desa ke desa, dari kecamatan ke kecamatan. Aksi kemanusiaan dipastikan merata dari posko-posko kemanusiaan ACT yang tersebar di Palu, Sigi, Donggala, bahkan sampai ke Parigi Moutung.

Shelter yang dibangun ACT di Palu.
Shelter yang dibangun ACT di Palu. (istimewa)

Menjejak hitungan sebulan pascagempa, upaya membangun kembali hunian bagi ribuan pengungsi juga sudah dimulai oleh ACT. Sampai Minggu (28/10/2018) sudah ada lima lokasi Integrated Community Shelter (Hunian Nyaman Terpadu) yang bakal dibangun ACT untuk penyintas gempa, tsunami dan likuefaksi.  

Syuhelmaidi Syukur, Senior Vice President ACT, mengatakan, lokasi ICS ACT tersebar di wilayah Palu, Sigi, hingga Donggala.

“Hunian Nyaman Terpadu ACT akan berdiri di Kelurahan Duyu, Kota Palu, lalu di Desa Sibalaya Utara, Kabupaten Sigi, ada juga di Desa Lolu, Kabupaten Sigi. Sementara itu lokasi ICS lain Insya Allah akan diupayakan di Kelurahan Pantoloan dan Kelurahan Petobo, Kota Palu,” kata Syuhelmaidi.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved