Profil
Lika-liku Soesilo Toer, Adik Pramoedya Bergelar Doktor, Sempat Dituding PKI dan Kini jadi Pemulung
Setiap malam, setelah magrib hingga dini hari, Soesilo menjadi pemulung di wilayah perkotaan Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Penulis: Indan Kurnia Efendi | Editor: Yudha Maulana
TRIBUNJABAR.ID - Kini Soesilo Toer tak muda lagi. Keriput di wajahnya begitu terlihat, rambutnya pun putih beruban.
Sementara janggut dan kumis putihnya dibiarkan panjang dan tebal.
Setiap malam, setelah magrib hingga dini hari, Soesilo menjadi pemulung di wilayah perkotaan Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Barang-barang bekas yang masih bernilai jual dikumpulkannya untuk ditukar menjadi rupiah.
Setidaknya, begitulah kegiatan Soesilo di usia senja.
Namun jangan salah, pria tua berusia 81 tahun ini bukanlah orang sembarangan.
Dia adalah jebolan dua perguruan tinggi Rusia.
Soesilo mendapat gelar master dari university Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet.
Selain soal gelarnya, Soesilo juga merupakan adik kandung dari sastrawan dan penulis ternama Pramoedya Ananta Toer (alm).
Pahit dan manis kehidupan dilalui Soes, sapaan akrab Soesilo. Dari sengsara, bergelimang harta, masuk penjara, hingga menjadi pemulung di kawasan Blora.
Dilansir TribunJabar.id dari Kompas.com, Soes masih ingat betul lika-liku kehidupannya di waktu lampau hingga sekarang.
Masa Muda
Selepas sang ayah Mastoer meninggal dunia, Soes hijrah ke Jakarta dan sempat tinggal bersama abangnya, Pramoedya.
Ia menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selain itu, ia juga jadi mahasiswa BI jurusan ekonomi yang kemudian beralih jadi IKIP di Jakarta Selatan.
Punya otak cemerlang, Soes sukses masuk perguruan tinggi tanpa tes. Lihat saja nilai pelajaran ekonominya saat SMA yang sempurna, yaitu 10. Selain itu, nilai mata pelajaran yang lain pun di atas rata-rata.
Sayangnya, Soes terpaksa berhenti kuliah di dua kampus itu karena fakto biaya.
Soes kemudian masuk Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK).
Di titik ini, kehidupan Soes masih terbilang sengsara.
Ia menyambung hidup dengan bekerja di sebuah perusahaan penerbitan. Gajinya tidak besar, statusnya pun tidak tetap.
Kendati demikian, tiang utama dana Soes berasal dari uang keluarga.
Uang itu diputar kepada sejumlah pedagang kecil yang butuh dana pinjaman.
Bunga yang didapat Soes lantas digunakan untuk biaya hidup dan kuliah.
"Hidup waktu itu demikian susah dan keras. Uang saku dari Mas Pram sangat minim. Sampai kini, kalau teringat terkadang miris sendiri. Kasihan terhadap kemiskinan bangsa sendiri. Mengapa aku harus begitu kejam mencari sesuap nasi. Aku tahu itu tidak halal, tapi kalau sok-sokan berperikemanusiaan, hadiahnya lapar dan bencana bagiku," kata Soes, mengutip dari Kompas.com.
Kuliah di Rusia
Setelah lulus dari Akademi Keuangan Bogor, Soesilo bekerja di sebuah kantor dagang.
Gajinya besar, hidupnya pun tak sengsara lagi.
Di sisi lain, Soes merasa pekerjaannya itu membosankan.
"Namun, sungguh aku tidak suka. Kerjanya membosankan, setiap hari hanya dipenuhi angka-angka. Kantornya berisik oleh suara mesin hitung, mesin bagi, mesin tulis, mesin bagi, dan mesin kali," ujarnya.
Di saat kondisi kehidupan Soes berangsur membaik, Indonesia dilanda masalah ekonomi dan politik. Jala itu pemerintah membentuk Batalyon Serbaguna Trikora.
Karier Soes pun terhenti. Ia harus mengikuti wajib militer yang begitu menguras tenaga.
"Aku tak tahu apa penyebabnya. Pemerintah bertekad membebaskan Irian Barat. Saat itu militer memegang kuasa termasuk di kantorku, hingga akhirnya aku ikut latihan menjadi sukarelawan ke Irian Barat. Jabatanku kabag distribusi dan pangkatku letnan waktu itu, tapi kenyataannya aku jenderal bintang tujuh alias pusing dengan nasib ke depannya," ujar Soes.
Singkat cerita, Soes lolos penjaringan beasiswa otoritas Rusia dan ia tak jadi ikut ke Irian Barat.
Dari sekitar 9.000 pendaftar, hanya 30 orang yang lolos, termasuk Soes. Dia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Politik dan Ekonomi University Patrice Lulumba.
"Aku tidak jadi berangkat ke Irian Barat, namun aku bebas dari pakaian hijau yang enam bulan membungkusku. Aku berangkat ke Rusia sekitar tahun 1962. Di situlah kisah hidup baruku dimulai," ujarnya.
Gara-gara lulus tanpa predikat cumlaude, Soes diharuskan mengabdi di Rusia selama dua tahun.
Ia diketahui melanjutkan pendidikan pascasarjana di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov. Gelar PhD diraihnya dalam waktu 1,5 tahun.
Selama hidup di Rusia, Soes mengerjakan apa saja demi mendapat uang. Mulai dari penulis, penerjemah, peneliti, bahkan pekerja kasar.
Berhubung punya gelar menterang, Soes dibayar dengan gaji tinggi.
Hidup Soes bisa dibilang berangsur membaik dan bergelimang harta.
Selama saya bekerja di Rusia, duit saya banyak. Seminggu sekali makan di restoran berkelas. Saat itu, biaya hidup 1 rubel sehari di Rusia. Padahal sebulan saya kantongi 400 rubel," ujar Soes.
Pulang ke Indonesia dan Dituding PKI
Setelah 11 tahun berada di rusia (1962-1973), Soesilo akhirnya pulang ke Tanah Air.
Namun bukan kebahagiaan yang didapat, Soes malah ditangkap saat menginjakkan kaki di bandara di Jakarta.
Ia pun kemudian dijebloskan ke penjara selama enam tahun lamannya.
Entah apa dasar hukumnya, namun Soes menjelaskan, jurusan yang ditekuninya disebut masuk zona merah dan membahayakan kestabilan negara.
Saat itu kondisi politik Indonesia memang sedang tidak stabil karena perpindahan Orde Lama ke Orde Baru.
Soes pun dituding antek komunis hanya karena dia lulusan politik dan ekonomi Rusia.
Terlebih lagi, ia adalah adik Pramoedya yang lebih dulu dituding komunis.
"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain. Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu Marxisme-Leninisme, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes.
Tanpa pengadilan dan pembuktian atas kesalahannya, pada tahun 1978, Soes akhirnya keluar dari tahanan politik masa Orde Baru. Soes kemudian tinggal di Jakarta.
Hidup Sengsara
Keluar dari penjara tidak menjadikan hidup Soes jadi lebih baik.
Melihat statusnya sebagai mantan tahanan politik orde baru, Soes dituding PKI, dicurigai, dan diawasi.
Saat hendak mencari pekerjaan pun sulitnya bukan kepalang.
Kepada Kompas.com yang menyambangi kediamannya di Jalan Sumbawa Nomor 40, Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/8/2018), Soes menjelaskan bahwa ia terpaksa bekerja serabutan demi mendapatkan uang. Mulai dari berdagang hingga menulis.
Kehidupannya sempat agak menemui sinar terang ketika seorang teman membantunya menjadi dosen di universitas swasta di Jakarta selama 6 tahun.
Sayangnya, ketika teman tersebut meninggal, karier Soes sebagai dosen juga ikut kandas.
Ia sempat mencari pekerjaan lain, namun tetap saja tidak membuahkan hasil.
Merasa tidak 'hoki' di Ibu Kota, Soes memutuskan kembali ke kampung halamannya di Blora pada tahun 2004.
Saat itu, rumah semipermanen Soes di Jakarta terkena penggusuran proyek Tol Jakarta-Cikampek.
"Saya dapat ganti untung ratusan juta. Uang itu saya pakai modal hidup di Blora termasuk renovasi rumah," ujarnya.
Sekarang, rumah sederhana yang rapuh dimakan usia itu terlihat tak terawat.

Menurut laporan Kompas.com, pagar masuk menuju rumah itu dalam kondisi reyot memprihatinkan.
"Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah. Tapi belum tahu kapan," kata Soes.
Di rumah itu terdapat sebuah perpustakaan kecil yang dibuat Sos untuk mengenang sang kakak sekaligus mendorong generasi muda setempat gemar membaca.
Selain menjadi seorang pemulung, Soes juga bercocok tanam dan beternak ayam serta kambing.
Ada sekitar 50 ekor ayam dan 16 ekor kambing. Hewan-hewan ternaknya itu dibiarkan saja berkeliaran. Bahkan terkadang kambing dan ayam itu masuk ke dalam rumah.

Menurut Soes, pekerjaannya sebagai pemulung bukanlah pekerjaan hina.
Ia justru merasa bangga karena selain halal, memulung sampah juga secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota.
"Saya menikmati apa pun itu proses kehidupan. Saya tidak menyesal, malu, dan menangis. Ini sudah suratan takdir Tuhan. Memulung itu pekerjaan mulia dan halal. Apa yang salah. Biarkan mereka ngomong apa. Dari hasil memulung, kami bisa hidup. Seminggu sekali bisa kantongi Rp 150.000," ujarnya.
(Sumber: Kompas.com)