Profil
Lika-liku Soesilo Toer, Adik Pramoedya Bergelar Doktor, Sempat Dituding PKI dan Kini jadi Pemulung
Setiap malam, setelah magrib hingga dini hari, Soesilo menjadi pemulung di wilayah perkotaan Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Penulis: Indan Kurnia Efendi | Editor: Yudha Maulana
Saat itu kondisi politik Indonesia memang sedang tidak stabil karena perpindahan Orde Lama ke Orde Baru.
Soes pun dituding antek komunis hanya karena dia lulusan politik dan ekonomi Rusia.
Terlebih lagi, ia adalah adik Pramoedya yang lebih dulu dituding komunis.
"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain. Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu Marxisme-Leninisme, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes.
Tanpa pengadilan dan pembuktian atas kesalahannya, pada tahun 1978, Soes akhirnya keluar dari tahanan politik masa Orde Baru. Soes kemudian tinggal di Jakarta.
Hidup Sengsara
Keluar dari penjara tidak menjadikan hidup Soes jadi lebih baik.
Melihat statusnya sebagai mantan tahanan politik orde baru, Soes dituding PKI, dicurigai, dan diawasi.
Saat hendak mencari pekerjaan pun sulitnya bukan kepalang.
Kepada Kompas.com yang menyambangi kediamannya di Jalan Sumbawa Nomor 40, Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/8/2018), Soes menjelaskan bahwa ia terpaksa bekerja serabutan demi mendapatkan uang. Mulai dari berdagang hingga menulis.
Kehidupannya sempat agak menemui sinar terang ketika seorang teman membantunya menjadi dosen di universitas swasta di Jakarta selama 6 tahun.
Sayangnya, ketika teman tersebut meninggal, karier Soes sebagai dosen juga ikut kandas.
Ia sempat mencari pekerjaan lain, namun tetap saja tidak membuahkan hasil.
Merasa tidak 'hoki' di Ibu Kota, Soes memutuskan kembali ke kampung halamannya di Blora pada tahun 2004.
Saat itu, rumah semipermanen Soes di Jakarta terkena penggusuran proyek Tol Jakarta-Cikampek.
"Saya dapat ganti untung ratusan juta. Uang itu saya pakai modal hidup di Blora termasuk renovasi rumah," ujarnya.
Sekarang, rumah sederhana yang rapuh dimakan usia itu terlihat tak terawat.

Menurut laporan Kompas.com, pagar masuk menuju rumah itu dalam kondisi reyot memprihatinkan.
"Katanya rumah ini mau dibangun oleh pemerintah. Tapi belum tahu kapan," kata Soes.
Di rumah itu terdapat sebuah perpustakaan kecil yang dibuat Sos untuk mengenang sang kakak sekaligus mendorong generasi muda setempat gemar membaca.
Selain menjadi seorang pemulung, Soes juga bercocok tanam dan beternak ayam serta kambing.
Ada sekitar 50 ekor ayam dan 16 ekor kambing. Hewan-hewan ternaknya itu dibiarkan saja berkeliaran. Bahkan terkadang kambing dan ayam itu masuk ke dalam rumah.

Menurut Soes, pekerjaannya sebagai pemulung bukanlah pekerjaan hina.
Ia justru merasa bangga karena selain halal, memulung sampah juga secara tak langsung ikut membantu membersihkan sampah kota.
"Saya menikmati apa pun itu proses kehidupan. Saya tidak menyesal, malu, dan menangis. Ini sudah suratan takdir Tuhan. Memulung itu pekerjaan mulia dan halal. Apa yang salah. Biarkan mereka ngomong apa. Dari hasil memulung, kami bisa hidup. Seminggu sekali bisa kantongi Rp 150.000," ujarnya.
(Sumber: Kompas.com)