Orangtua Rantai Anak di Margahayu

Sentot: Saya Lihat Tetangganya Kurang Peduli Karena Pak Eno Bukan Asli Sana

Jika ada barang untuk jualan, Eno menjualnya dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung dengan cara ditanggung.

Penulis: Mumu Mujahidin | Editor: Ravianto
Tribun Jabar/Mumu Mujahidin
Maesaroh (38), orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kampung Kebon Kalapa, Desa Sukamenak, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung, Jumat (23/3/2018). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG -  Eno (70), orangtua yang terpaksa merantai Sudrajat (32) anak bungsunya yang diduga mengalami gangguan jiwa sejak kecil ternyata kurang mendapat perhatian dari tetangga dekat.

Setidaknya, ini yang diungkapkan Sentot Sudarsono (68) warga RT 02/13 Kompleks Batuwangi, Desa Sukamenak, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung.

Eno dan istrinya, Imas serta anak-anak mereka tinggal di RT 02/06 Kampung Kebon Kalapa, Desa Sukamenak, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung, Jumat (23/3).

Meski bukan tetangga dekat, tapi Sentot mengaku kerap membantu kebutuhan keluarga tersebut.

"Saya lihat tetangganya kurang peduli karena pak Eno juga bukan asli orang sana. Saya hanya membayangkan bagaimana jika kondisi saya sama seperti pak Eno? Punya dua anak yang sakit dan mampu," katanya di rumahnya.

Baca: Jersey Anyar Persib Bandung Dapat Kritik Pedas, Bobotoh: Aduh Parah

Baca: Warga Marhagayu Mengaku Terpaksa Rantai Dua Anaknya Karena Sering Benturkan Kepala ke Tembok

Sentot mengaku setiap bulan kerap membelikan sembako seperti beras, mi, telur, gula dan lain sebagainya. Menurutnya tetangga dekat Eno tampak kurang simpati dengan keadaan Eno dan keluarganya.

Sentot mengaku kasian karena Imas (50) istri dari Eno hanya hanya bekerja memungut sisa-sisa dagangan di pasar. Kayak sayuran, bawang merah, bawang putih, dan cabai untuk kemudian dijual lagi. Sementara Eno hanya menjual singkong, daun singkong, dan ubi itupun jika barangnya sedang ada.

"Sudah 10 tahun saya kenal pak Eno dan keluarganya. Saya kenal dari pembantu saya yang laporan ada tetangganya seperti itu," katanya.

"Saat saya ngintip ke rumahnya pernah saya liat tidak ada kasur sama sekali, akhirnya saya kasih punya saya."

Eno bersama istrinya Imas (50) mengaku terpaksa merantai anak bungsunya, lantaran kerap gaduh gelisah seperti loncat-loncat, memukul kaca, kaleng bahkan membentur-benturkan kepalanya ke tembok.

Bahkan kalau ada kesempatan Sudrajat juga kerap kabur-kaburan hingga berhari-hari bahkan seminggu penuh.

Sementara kondisi anak keduanya Maesaroh justru lebih bisa dikendalikan sehingga tidak perlu dirantai. Maesaroh tidak memgalami gaduh gelisah, cukup dibiarkan di dalam rumah saja. Sesekali Maesaroh hanya ke berdiam di teras depan rumah saja.

"Bapak teh terpaksa (merantai), karena anaknya (Sudrajat) enggak bisa diam, sering ngamuk kadang suka membenturkan kepala ke tembok kalau lagi kambuh teh," katanya di kediamannya kemarin.

Sudrajat pernah kabur hingga berhari-hari tidak pulang bahkan pernah hilang hingga seminggu sehingga dicari-cari oleh kedua orangtuanya yang sudah tua.

Baca: Dikontrak Persib Bandung, Ardi Idrus Sebut Motivasinya Semakin Berlipat

Menurut Eno, kedua anaknya sudah mulai sakit sejak usia tiga tahun. Waktu itu tiba-tiba anaknya panas dan menangis terus menerus meski sudah dibujuk dan ditenangkan.

"Jadi dulu pas umurnya masih tiga tahun itu dia panas terus nangis terus enggak berhenti, sampai malam juga terus nangis. Dari situ jadi seperti ini. Adiknya juga sama dari umur tiga tahun juga," tutur Imas.

Eno dan Imas memiliki 3 orang anak. Anak pertama mereka Supriatna tidak mengalami gangguan mental.

Supriatna meninggal di usia (38) setelah menikah dan memiliki seorang anak.

Sementara anak kedua dan ketiga mereka yakni Maesaroh dan Sudrajat, mengalami penyakit yang diduga gangguan jiwa sejak usia 3 tahun.

Di usia 3 tahun Maesaroh sempat bisa bicara hingga sekarang, namun sang adik Sudrajat waktu itu belum sampai bisa berbicara.

"Sudah pernah diobati dua kali tapi pada enggak sanggup, katanya ini mah katumpangan ku jurig (diikuti hantu, mistis) dan harus dibawa ke orang pintar. Semua orang pintar dan ustad juga sudah didatangin, malah sampai kemalaman dan kehujanan di jalan tetap aja pada enggak sanggup," tuturnya.

Meski demikian Eno dan Imas tetap mengurus kedua anaknya tersebut, setiap hari kedua anaknya dikasih makan dan dimandikan beberapa kali dalam satu minggu.

Kedua anaknya tersebut melakukan buang air kecil dan buang air besar di tempat. Sehingga meski ruang rumahnya lumayan bersih, namun tercium bau tidak sedap, seperti bau kotoran dan air kencing.

"Kalau ada yang nungguin dia minta makan dan minta ke kamar mandi sendiri. Tapi kalau enggak ada bapak atau ibu ya buang air disitu," katanya.

Eno dan Imas berharap kedua anaknya tersebut bisa diobati dengan baik. Namun diakui Eno dirinya tidak memiliki biaya untuk mengobati kedua anaknya.

Terlebih Eno merasa takut dan tidak mampu kalau membawa anaknya terutama Sudrajat untuk berobat, karena sering ngamuk.

"Ya inginnya diobati, tapi saya juga enggak sanggup bawanya, karena sering ngamuk. Dibawa naik anggot juga, tukang angkotnya enggak mau," tutur Eno di kediamannya, Jumat (23/3).

Baca: Bong Buatan Sering Digunakan Pengguna Narkoba, Biasanya Pakai Botol Kosong

Eno hanya seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu. Dia berjualan ubi dan singkong jika ada barang saja, kalau sedang tidak ada barang dia terpaksa memganggur.

Untuk menghidupi kehidupan sehari-harinya, Eno terpaksa memanfaatkan pemberian orang lain, tetangga jauhnya yang bersimpati pada keluarganya.

"Kalau ada barang mah bapak ngamodal Rp 200 ribu batina (keuntungan) paling Rp 50 ribu. Kalau enggak ada barang, paling ada orang yang sering ngasih aja," katanya.

Jika ada barang untuk jualan, Eno menjualnya dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung dengan cara ditanggung.

Kadang Eno juga menjajakan barang dagangannya ke tempat-tempat ramai seperti pasar kaget dan lain sebagainya.

"Iya keliling tidak tentu, biasanya jualan ke Lapang Golf Husein atau kemana saja yang ramai. Yah lumayanlah bisa cukup buat makan saja sudah alhamdulillah," katanya.

Eno dan keluarganya tinggal di rumah sederhana semi permanen dengan berdindingkan bilik tanpa cat dan berlantaikan tembok berukuran sedang.

Dari dalam rumahnya tercium bau tidak sedap seperti bau air kencing dan kotoran.

Eno mengaku belum pernah menerima bantuan dari pemerintah. Sebelumnya kata Eno pernah ada petugas yang datang meminta data memfoto-foto rumahnya serta kondisi anak-anaknya.

Namun hingga sekarang belum ada kelanjutannya.(*)


Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved