HUT ke-72 TNI: Jenderal Soedirman, Panglima Perang yang Tak Bisa Digertak
Para komandan sektor bawahannya diminta berkumpul di Magelang untuk merundingkan siasat merebut Ambarawa.
Walaupun persetujuan itu sangat merugikan Indonesia, namun Tentara Rakyat Indonesia (TRI: nama baru bagi TKR sejak 24 Januari 1946) sebagai unsur negara harus patuh.
Panglima Soedirman berhasil menenteramkan para komandan TRI daerah yang semula tidak mau menerima Persetujuan Linggarjati.
Biasa Mengambil Risiko
Pihak Belanda melanggar Persetujuan Linggarjati itu, dengan melancarkan agresi militer I bulan Juli 1947.
Setelah merebut beberapa ibukota karesidenan di pantai utara Jawa, mereka minta gencatan senjata lagi.
Hasilnya Persetujuan Renville, dilakukan di atas kapal perang Amerika Serikat yang berlabuh di Tanjungpriok tanggal 2 Desember 1947.
Republik Indonesia dirugikan lagi. Kota-kota yang sudah direbut Belanda tidak dikembalikan ke RI.
Akibatnya, 35.000 personel Tentara Nasional Indonesia (TNI; nama baru bagi TRI sejak 3 Juni 1947) harus dipindahkan dari kantung-kantung pertahanan di Jawa Barat yang dikuasai Belanda.
Baca: Begini Curhatan Sarwendah Tentang Ruben Onsu di Atas Ranjang Sebelum Tidur: Mewek Bacanya
Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat dan hijrah ke Yogya. Suatu hal yang tidak pernah bisa dilakukan melalui perang oleh tentara Belanda.
Namun kehadiran Divisi Siliwangi di Yogya dan Solo malah mempertinggi daya tempur tentara.
Panglima Soedirman mengerahkan divisi itu (di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution) untuk menumpas pemberontakan PKI-Muso 18 September 1948.
Pemberontakan dapat ditumpas, Republik Indonesia tidak jadi berantakan.
Keberhasilan menumpas PKI ini rupanya membuat Amerika Serikat yakin bahwa Indonesia antikomunis.
Mereka mendesak Belanda agar segera mengakui RI sebagai negara berdaulat. Tetapi desakan itu justru dibalas dengan agresi II ke Yogya 18 Desember 1948.