Berita Eksklusif Tribun Jabar
Protes Pembangunan Perumahan Griya Sampurna, Warga Desa Sukadana Takut Rumahnya Terkena Longsor
Tanah itu dihasilkan oleh proses pengurukan lahan perumahan. Jarak tebing dengan rumah penduduk hanya sekitar tujuh meter.
Penulis: Ragil Wisnu Saputra | Editor: Fauzie Pradita Abbas
Laporan Tim Tribun Jabar
TRIBUNJABAR.CO.ID, CIMANGGUNG - Warga Kampung Cipareuag, Desa Sukadana, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, resah.
Mereka khawatir kampung itu akan habis diterjang longsor menyusul pembangunan perumahan Griya Sampurna di kawasan Gunung Geulis, di daerah resapan air tepat di atas perkampungan.
Bagian yang paling dikhawatirkan akan menjadi bencana adalah tanah tebing yang berbatasan langsung dengan rumah-rumah penduduk.
Tebing dengan tinggi rata-rata 50 meter dan panjang 700 meter itu bertekstur tanah gembur.
Ashanty Beberkan Penyebab Keponakannya 'Belok' dari Kodrat, Millen Pernah Curhat Begini saat SMP https://t.co/IV20OoVh5z via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) September 13, 2017
Tanah itu dihasilkan oleh proses pengurukan lahan perumahan. Jarak tebing dengan rumah penduduk hanya sekitar tujuh meter.
"Setiap turun hujan saya gelisah. Pasti saya periksa tebing itu, khawatir roboh dan menimpa rumah saya," ujar Mus Mulyadi (33), warga RT 04/07, Desa Sukadana, di rumahnya belum lama ini.
Mus, buruh pabrik, hanya bisa pasrah karena tak bisa melayangkan protes terhadap perusahaan pengembang perumahan bersubsidi itu. Padahal, empat tahun pembangunan perumahan itu berlangsung telah mengusik kenyamanannya.
"Backhoe yang sedang dioperasikan bising sekali. Yang paling repot kalau hujan. Air beserta lumpur turun ke rumah, padahal sebelum ada perumahan, tidak ada yang kami keluhkan," ujarnya.
Azam Sihabuddin (47), tokoh masyarakat Kampung Cipareuag, mengatakan lokasi kampungnya itu berada di lembah antara Gunung Geulis dan Gunung Aseupan.
Posisi ini sangat rawan jika kedua sisi gunung itu dipangkas dan dialihfungsikan menjadi perumahan.
Selain kondisi tanah dengan kemiringan 45 derajat, banyak pohon penahan erosi, terutama bambu, yang juga hilang akibat pembangunan itu. Perumahan dibangun dengan jarak yang rapat antara satu rumah dan rumah lainnya.
Kondisinya gersang karena tak ada tanaman penahan erosi.
"Komo ayeuna halodo tarik (apalagi sekarang kemarau panjang). Kami khawatir tanah di atas (perumahan) akan retak-retak dan saat hujan air akan mengisi retakan itu sampai tidak disadari terjadi longsor," ujar Azam, di Cipareuag.
Sebelum perumahan Griya Sampurna dibangun, kata Azam, lahan tersebut ditumbuhi banyak bambu dan pohon berkayu keras lainnya yang dapat menyerap air hujan.
Terkuak, Chef Juna Akhirnya Liburan Bareng Wanita yang Jadi Juniornya. Beneran Cinta Lokasi? https://t.co/GAmHRVyimb via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) September 13, 2017
Namun, setelah ada perumahan itu air hujan tak diserap tanah dengan baik. Air disertai lumpur langsung menerjang permukiman warga di Kampung Cipareuag.
Pada 9 Juni 2015, hujan deras mengguyur kawasan tersebut. Banjir lumpur disertai batu-batu sebesar kepalan tangan menerjang rumah-rumah warga.
Pada 7 September 2016, banjir serupa menerjang. Pada kejadian kedua itu, banjir lumpur tidak hanya menerjang rumah-rumah, tapi juga madrasah dan masjid.
"Dulu kejadian itu saat pembangunan perumahan baru 25 persen. Kami (warga) mendatangi kantor perumahan dan minta agar tebing yang berbatasan dengan warga dibenteng saja, ditahan dengan beronjong berisi batu dengan pola terasering.
Tapi sampai sekarang, sampai pembangunan sudah mencapai 80 persen, realisasi pembentengan itu tidak ada," ujar Azam.
Azam khawatir, jika sudah selesai membangun perumahan, pihak pengembang akan lari dan tidak memedulikan nasib warga.
Jangankan nanti setelah beres pembangunan, kata Azam, saat ini pun pengembang susah ditemui ataupun dihubungi.
Di Kampung Cipareuag, tinggal 350 keluarga dari dua RW.
Mereka yang berada di garis rawan, tepat di bawah tebing tanah perumahan Griya Sampurna sebanyak 56 keluarga yang terdiri atas 224 orang.
Hilman (30), warga RT 02/07, mengatakan sudah banyak yang dilakukan warga untuk mengupayakan agar bencana tidak kembali menerjang kampungnya.
Selain melakukan sejumlah demonstrasi ke kantor pengembang, perwakilan warga juga sudah pernah meminta bantuan ke DPRD Kabupaten Sumedang.
"Upaya itu juga tidak membuahkan hasil. Kami tidak tahu pasti," ujarnya.
Diperkosa Beberapa Jam Sebelum Pernikahan, Hidup Wanita Ini Bagai Dikutuk. Simak Kehidupannya Kini https://t.co/UIbpiSEwpy via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) September 13, 2017
Warga heran dengan pihak pengembang. Sudah janji tiga kali akan membangun tembok penahan tebing, tapi tak kunjung terlaksana.
Padahal, selama empat tahun pembangunan, pihak pengembang terus-menerus menggelar sejumlah acara perayaan.
Misalnya, beberapa kali festival marawis sebagai perayaan hari-hari besar agama Islam, acara tablig akbar, hingga yang terakhir acara jalan santai untuk memeriahkan hari ulang tahun ke-72 kemerdekaan RI. (tim)