Laporan Eksklusif Tribun Jabar
Soal Pedagang Bunga Tegallega, Pemkot Disarankan Definisikan Ulang Ikon Kota
Sudah saatnya, menurut Dede, Pemkot Bandung kembali mendefinisikan ulang identitas dan ikon itu untuk diwujudkan dan dilestarikan.
Penulis: Ragil Wisnu Saputra | Editor: Ravianto
Laporan wartawan Tribun Jabar, Ragil Wisnu Saputra
TRIBUNJABAR.CO.ID, BANDUNG - SOSIOLOG Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Dede Syarif, mengatakan Pemkot Bandung harus memikirkan matang-matang rencana mereka merelokasi Pasar Bunga Tegallega.
Pemindahan yang serampangan akan membuat komitmen Pemkot Bandung untuk mempertahankan identitas Bandung sebagai Kota Kembang melalui keberadaan pasar bunga dan masyarakat tradisional di dalamnya dipertanyakan.
"Ikon Kota Kembang, kan, bukan hanya berwujud pohon atau bunga, tapi juga profesi masyarakat tradisionalnya," ujarnya, kepada Tribun melalui telepon, semalam.
Sudah saatnya, menurut Dede, Pemkot Bandung kembali mendefinisikan ulang identitas dan ikon itu untuk diwujudkan dan dilestarikan.
TERPOPULER PERSIB: 4 Fakta Pascalaga Lawan Persipura Jayapura dan Sosok Berjasa Bagi Billy Keraf https://t.co/zWDFVs5DzY via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) September 3, 2017
Perwujudan dan pelestarian Kota Kembang, ujarnya, bukan hanya dilihat pada sudah banyaknya pohon tertanam atau pot-pot bunga di setiap wilayah.
"Bukan itu. Perajin bunga, pedagang bunga, itu jauh lebih dari bunga dalam artian sesungguhnya. Lantas bagaimana nasib mereka kelak? Ini perlu didefinisikan ulang," katanya.
Lebih jauh, Dede mengatakan, Pasar Bunga Tegalega yang menjadi salah satu warisan sejarah dan sebagai identitas Kota Bandung, patut dipertahankan.
Jika para pedagang direlokasi, tentunya tempatnya harus representatif dengan dukungan indikator lain yang menguntungkan pedagang.
"Aspek fisikal perlu diperhatikan. Tapi jika ini sebuah ikon atau identitas, jangan sampaj pasar itu dan masyarakat tradisionalnya hilang akibat kepentingan dan meraub finasial yang lebih menguntungkan untuk pemerintah," katanya.
Namun, ia mengakui, dalam perspektif pertarungan ekonomi, masyarakat tradisional memang kerap dihadapkan pada kapitalisme besar.
Model ini Diperlakukan Tak Manusiawi oleh Pacarnya, 10 Tahun Kemudian Nasibnya jadi Begini https://t.co/FKykXCD9Tf via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) September 2, 2017
Pemerintah seringkali lebih mengandalkan kapitalisme yang secara finansial lebih menguntungkan. Ini pula yang terjadi pada Pasar Bunga Tegallega kini.
"Dengan seperti ini, dampaknya masyarakat tradisional akan terpinggirkan ke wilayah luar, baik secara ekonomi maupun sosial space. Akan ada konflik antara pemangku kebijakan dengan komunitas masyarakat tradisional itu sendiri," katanya.(raw)