Jejak Penyebaran Islam

Kampung Mahmud, Konon Dibangun Setelah 4 Penjurunya Ditebar Tanah dari Mekkah

Jika Anda menyusuri kampung tersebut. Anda akan menemukan plang "Makom Karomah Mahmud."

Penulis: Yudha Maulana | Editor: Kisdiantoro
Tribun Jabar/Yudha Maulana
Lokasi Makam Eyang Dalem Abdul Manaf. 

Tak gubahnya rumah penduduk, Masjid raya dan madrasah yang berada di dalam kampung pun menunjukkan rancang bangun yang serupa dengan menerapkan filosofis Sunda. Kendati demikian, kata H. Syafie, larangan untuk membangun rumah tersebut dilanggar oleh segelintir penduduk kampung.

"Saat orang tua berupaya menjaga tradisi, tapi anak cucunya ada saja yang membangun rumah gedong (permanen), padahal itu diajarkan oleh Eyang untuk menjaga kerendahan hati, karena hidup itu sementara dan kita akan berpulang ke akhirat nanti yang kekal," ujar pria berjanggut tebal itu.

Pernah suatu ketika, ujar H. Syafie, ketika satu keluarga berupaya untuk membuat sumur di dalam kampung, sumur tersebut tidak pernah rampung dikarenakan tanah galian yang terus amblas ditambah dengan munculnya berbagai hewan melata dari dalam lubang galian.

Kendati demikian, Eyang Dalem Abdul Manaf, hanya memberlakukan larangan tersebut hanya di dalam kampung saja. "Eyang pernah memerintahkan untuk menggunakan Sungai Citarum yang dulu bersih untuk segala keperluan, boleh saja membangun sumur, asalkan di luar kampung," katanya.

Beliau membuat penanda batas Kampung Mahmud berupa tugu dari batu dengan ukiran berbentuk kepala di atasnya di sebelah utara kampung. Pasalnya, Kampung Mahmud dibatasi oleh Sungai Citarum oleh di bagian lainnya.

Sekarang, tugu tersebut disimpan rapat dengan kelambu disimpan di dalam ruangan berpagar besi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk pencurian dan pengrusakan tugu. "Padahal itu hanya sebagai penanda saja, bukan untuk yang lain," katanya.

H. Syafie dan sebagian besar masyarakat di sana percaya jika roh dari seorang waliyulah akan tetap ada, bahkan dapat berinteraksi dengan keturunannya. Banyak peziarah yang datang untuk ikut berdoa.

"Kalau malam Jumat dan Minggu ramai yang datang ke sini, kalau saat Ramadhan seperti ini agak jarang," ujar H. Syafie.
Bila kita menelisik ke bagian barat kampung tersebut, akan kita temui makam dari Eyang Dalem Abdul Manaf. Sebelum masuk ke dalam, peziarah akan menemui kotak infak di pintu masuk. Lokasinya tepat berada di belakang Masjid Raya Kampung Mahmud.

Para pedagang menjajakan berbagai dagangan, mulai dari kudapan ringan, buku-buku agama, tasbih, hingga berbagai kerajinan tangan. Kios-kios penyedia makanan berat pun dapat ditemui di beberapa titik.

Walau lokasinya agak terpencil dan berdekatan dengan proyek Tol Soroja di pinggiran kota, Kampung Mahmud dapat diakses dari berbagai arah. Baik dari arah Kota Bandung maupun Soreang.

Dari arah Bandung, peziarah dapat menggunakan angkutan kota (angkot) jurusan Tegalega-Mahmud. Peziarah akan berhenti di terminal Mahmud yang lengang, namun perlu diperhatikan angkutan ini hanya beroperasi hingga pukul 18.00
Sedangkan bila dari Soreang harus menggunakan angkot menuju Cilampeni dilanjutkan menggunakan ojek menuju Kampung Pameuntasan dan dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Kampung Mahmud dihuni oleh kurang lebih 400 KK yang didalamnya terdapat 1 RW dan 4 RT. Sebagian besar mata pencaharian warga dari bertani, pengrajin dan pengusha mebel, pedagang dan sebagian lagi bekerja. "Kampung Mahmud ini, kampung yang terpuji," katanya.

Rustandi (30), peziarah asal Garut mengatakan ia datang ke makam Eyang Dalem Abdul Manaf untuk mengingat kematian. "Dengan mengingat mati, kita akan berusaha sebaik mungkin untuk berbuat kebaikan di sisa kehidupan," katanya.(dam)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved