Jejak Gesha di Bandung Utara
Usia Pohon Kopi Ini Sudah Ratusan Tahun dan Masih Berbuah
TERSEMBUNYI di kelebatan hutan Gunung Bukit Tunggul di Kecamatan Lembang, pohon kopi berusia ratusan tahun itu masih hidup dan bertahan.
Penulis: Arief Permadi | Editor: Arief Permadi
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Arief Permadi
TERSEMBUNYI di kelebatan hutan Gunung Bukit Tunggul di Kecamatan Lembang, pohon kopi berusia ratusan tahun itu masih hidup dan bertahan. Desember sudah musim berbuah. Sayang belum saatnya memetik.
TUMBUH di ketinggian 1.300-an meter, lingkar batangnya sudah hampir sebesar galon air mineral. Ranting-ranting kecilnya yang dipenuhi buah malang-melintang ke sana-kemari. Beberapa terselip di antara pepohonan lain. Itu yang membuatnya tersamar.

RATUSAN TAHUN - Agronom Koperasi Klasik Beans, Yadi Mulyadi (paling kanan) saat menunjukkan pohon kopi berusia 300-an tahun di Gunung Bukit Tunggul, Desember 2016.
Umumnya buah-buahan yang belum matang, untaian buah kopi ini masih berwarna hijau tua. "Mungkin baru dua bulanan lagi, buah-buah buah itu berubah menjadi ceri," ujar Yadi Mulyadi (45), agronom Klasik Beans Cooperative yang berbaik hati menemani saya menyusuri jejak kopi tua ini, pertengahan Desember lalu. "Ceri adalah sebutan untuk buah kopi yang sudah matang. Warnanya merah, dan rasanya manis."
Ada enam pohon yang masih tersisa. Jarak antarpohonnya sama, sekitar empat meteran. Itu pula yang menurut Yadi menguatkan dugaan bahwa keenam pohon ini adalah pohon-pohon yang ditanam oleh Belanda sekitar abad 17.
"Dulu perkebunan Belanda di kawasan ini terkenal dengan sebutan Baru Kopi. Perkebunan ini membentang dari kawasan Ujungberung hingga ke Bukit Tunggul dan menjadi penyuplai utama kopi arabika yang diekspor Belanda ke Eropa," ujarnya.

SEBESAR GALON - Akar pohon kopi berusia 300 tahunan di belantara Gunung Bukit Tunggul. Ukuran batang bagian bawahnya lebih besar dari galon air mineral
Namun, tahun 1890-an serangan hama karat daun merusak hampir semua tanaman kopi di sana. "Semua pohon kopi di perkebunan ini kemudian dicabut dan diganti dengan tanaman lain. Enam pohon itu mungkin terlewat dan tanpa diduga bertahan hingga kini."

GESHA SUNDA - Ceri (kanan), buah kopi yang sudah matang, yang dipetik dari pohon kopi berusia 300-an tahun di Gunung Bukit Tunggul, Desember 2016.
Berbeda dengan buah kopi biasa, bentuk buah kopi tua yang ditemukan di Bukit Tunggul ini sangat lonjong seperti peluru, terutaka ketika masih belum matang. Pucuk-pucuk daunnya lancip berwarna cokelat cerah. Buahnya tak banyak dengan jarak antarrumpun buah yang jarang.
"Ini varietas murni abyssinia yang mirip sekali dengan yang tumbuh di Gesha, desa kecil di Ethiopia. Besar kemungkinan, Belandalah yang membawa bibit itu ke mari dan menanamnya di sini," kata Yadi yang selama 15 tahun terakhir juga meneliti kopi di sejumlah negara di Eropa, Amerika Latin, dan beberapa negara di Asia.
Guntur
Selain di Bukit Tunggul, kata Yadi, jejak kopi tua di tatar Sunda juga mereka temukan di kawasan hutan Gunung Guntur di Kabupaten Garut.
"Waktunya penemuannya hampir bersamaan, tahun 2008. Ada 15 pohon yang kami temukan di sana."
Namun, berbeda dengan kopi tua yang mereka temukan di Bukit Tunggul, 15 kopi tua di hutan Guntur ini adalah varietas typika. Tapi, seperti varietas abyssinia yang ditemukan di Bukit Tunggul, pohon tua typika yang ditemukan di Guntur juga varietas murni yang belum mengalami persilangan baik sengaja maupun secara alami. Dari pohon-pohon tua itulah mereka kemudian melakukan pembibitan.
"Bibit-bibit kopi dari varietas typika murni kami bagikan kepara ratusan petani yang tergabung dalam paguyuban petani Sunda Hejo yang kami bina di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Di Bandung, bibit dari indukan di Guntur ini ditanam antara lain di kawasan Pacet, Ciwidey, dan di Gunung Puntang."
Yadi mengatakan, di Gunung Puntang saja ada 30 hektaran lahan yang sudah ditanami oleh kopi hasil dari pembibitan di Guntur ini.
"Sekitar 20 hektare di antaranya dikelola para petani dari paguyuban Sunda Hejo, sisanya oleh sejumlah petani yang juga kami beri bibitnya, termasuk Pak Ayi Sutedja, yang April lalu mengikutsertakan kopi dari bibit ini dalam uji cita rasa (cupping) yang digelar Specialty Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat," kata Yadi.
April lalu, kopi typika yang diikutsertakan Ayi mendapat nilai 86,25, tertinggi untuk booth Indonesia, dengan nilai lelang 55 dolar AS per kilogram.
"Cita rasa typika sunda ini memang superior. Saya sangat yakin nilainya sebenarnya bisa lebih dari itu," kata Yadi.

RESTORASI GESHA SUNDA - Agronom Klasik Beans, Yadi Mulyadi menunjukkan pohon kopi yang mereka tanam di Gunung Manglayang. Bibit pohon kopi ini berasal dari pohon kopi berusia 300 tahunan yang mereka temukan di Gunung Bukit Tunggul.
Untuk kopi-kopi tua yang mereka temukan di Bukit Tunggul, hasil pembibitannya, menurut Yadi, mereka tanam antara lain di kawasan Gunung Manglayang dan Gunung Palasari.
Dua tahun lalu, kopi yang dihasilkan dari bibit ini pernah juga diikutsertakan dalam kejuaraan dunia yang digelar Speciality Coffee Association of Europe (SCAE). Kopi ini menjadi juara mengalahkan geisha Panama yang sebelumnya menjadi langganan juara selama bertahun tahun.
"Jadi, ada dua varietas kopi arabika yang rupanya ditanam Belanda di Tatar Parahiangan ini. Yakni kopi typika yang ditanam di kawasan Priangan Timur termasuk di Gunung Guntur dan kopi abyssinia yang ditanam di kawasan Bandung Utara. Kopi inilah yang ratusan tahun lalu membuat ekspor kopi Belanda menembus pasar Eropa, yang dikemas Belanda dengan brand Java Preanger."
Yadi mengatakan, penemuan kembali varietas murni kopi typika dan abyssinia di Tatar Sunda ini adalah kebanggaan yang tak terhingga bagi Indonesia, khususnya Jawa Barat.
"Kita bisa dengan bangga menyebut kopi-kopi berkualitas tinggi itu sebagai typika Sunda dan gesha Sunda," kata Yadi. (*)