Pasca Penggenangan Waduk Jatigede

Kisah Warga Jemah Menembus "Dunia Luar"

Dimulainya penggenangan Bendungan Jatigede, Agustus lalu, membuat desa ini terputus dari "dunia luar".

Penulis: Deddi Rustandi | Editor: Dedy Herdiana
TRIBUN JABAR/DEDDI RUSTANDI
BERJUANG KE WADO - Warga Desa Jemah harus menggunakan perahu untuk mencapai Wado, Kamis (5/5/2016). Wado adalah "dunia luar" terdekat, di mana dokter dan pasar yang menyediakan berbagai kebutuhan masih ada. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Deddi Rustandi

SUMEDANG, TRIBUNJABAR.CO.ID --- SUDAH hampir setahun, Desa Jemah, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, bisa dibilang terisolasi. Dimulainya penggenangan Bendungan Jatigede, Agustus lalu, membuat desa ini terputus dari "dunia luar".

UNTUK menembus "dunia luar", warga Jemah harus berjalan sekitar tiga kilometer melewati hutan belantara menuju Kampung Burujul, kampung terdekat yang berbatasan dengan Desa Cipicung, Jatigede.

Dari sana perjalanan belum selesai. Agar cepat sampai ke jalan utama Tomo-Jatigede, perjalanan harus dilanjutkan dengan naik ojek. Tapi, itu pun mentok karena seiring terus meningginya genangan, jalan ke arah Wado tak lagi bisa dilewati.

Akses tersisa, dengan rute Desa Ciranggem, lalu Desa Cisampih kemudian ke Mekarasih, lalu ke Jatinunggal, juga sudah tak bisa dilalui karena jembatan yang ada di Cikondang, Desa Ciranggem sudah terendam.

Satu-satunya cara adalah menggunakan perahu. Itu pula yang belakangan dilakukan warga Desa Jemah jika ada keperluan pergi ke Wado.

Kandar (38), pemilik sekaligus pengemudi perahu, yang sejak beberapa bulan ini menjalankan usahanya di sana, mengatakan hampir setiap minggu sekali banyak warga Jemah yang menyewa perahunya untuk berbelanja ke Pasar Wado.

Ukuran perahu milik Kandar memang lumayan besar. Setidaknya, perahu itu bisa menampung 20 orang, bahkan lebih jika dipaksakan.

Tak hanya dipergunakan untuk mengantar warga Jemah belanja ke Wado, perahu milik Kandar juga kerap disewa untuk mengantar warga berobat ke Wado atau ke RSUD yang ada di Sumedang Kota.

"Untuk berobat, dokter praktik terdekat memang ada di Wado. Di Kecamatan Jatigede sudah tak ada dokter yang buka praktek. Kalau pun ada hanya hari Jumat di Puskesmas Jatigede," kata Aga (54), warga Pasir Sabeulit, Desa Ciranggem, Kamis (5/5).

Biaya sewa perahu untuk berobat ke dokter, menurut Aga, Rp 70 ribu per orang, pergi-pulang.

"Biasanya, pasien juga diantar oleh dua orang, sehingga setidak-tidaknya perlu Rp 210 ribu. Jauh lebih besar dari biaya periksa dokter dan beli obat yang hanya Rp 50 ribu," katanya.

Dibanding ongkos warga Jemah yang akan berbelanja ke Wado, ongkos naik perahu untuk pasien yang akan berobat ke Wado memang lebih mahal karena pengemudi akan segera mengantarkan pasien tanpa menunggu perahunya penuh oleh muatan.

"Orang yang sakit, kan, tidak bisa menunggu. Kalau ada yang sakit, pasien dan pengantarnya langsung diangkut menuju dokter ke Wado," kata Aga.

Tak hanya itu, untuk naik perahu dari dermaga dadakan, juga bukan perkara mudah bagi pasien. Pasien harus ditandu dengan sejauh hampi 500 meter meniti jalan setapak yang menurun.

Maklum Sabeulit merupakan bukit tak nantinya menjadi pesisir bendungan. Jika tak hujan jalan mudah dilalui tapi kalau hujan jalan setapak menjadi licin.

"Untuk sampai perahu, pasien harus ditandu dengan dinaikkan ke kursi atau sarung kemudian ditandu menuruni bukit," kata Aga.

Sesampai di Wado, ketika perahu menepi, angkutan berganti dengan ojek yang ongkosnya Rp 10 ribu sekali jalan.

Sertifikat
Karena perahu sudah menjadi alat transportasi utama di Jemah, banyak warga Jemah yang direlokasi ke Kampung Sabeulit dan Jatimekar akhirnya menjual sapi-sapinya agar dapat membeli perahu. Terdapat lebih dari 100 kepala keluarga warga Jemah tinggal yang tinggal di lokasi yang baru ini.

"Bapak saya menjual dua sapi dan dibelikan perahu yang saya pakai ini," kata Kandar.

Menurutnya, ada dua perahu yang dipakai transportasi warga Jemah untuk berbagai keperluan.

"Dua perahu ini dipakai mengantar warga ke Kampung Jatimekar dan Sabeulit. Kami kebanyakan masih saudara, dan kalau ada keperluan harus naik perahu," katanya.

Kandar mengatakan, kalau terpaksa, sebenarnya masih ada jalur darat yang bisa ditempuh.

"Tapi jaraknya jauh sekali karena harus memutar, masuk dulu hutan yang dipenuhi hewan liar. Kalau naik perahu, jaraknya lebih pendek, paling cuma perlu 10 hingga 15 menitan dengan ongkos Rp 10 ribu sekali jalan," katanya.

Kandar mengaku, perahu yang ia kemudikan ini dibeli keluarganya dari Kadipaten, Majalengka.

"Saya belajar mengemudikan perahu ini lebih dari seminggu hingg akhirnya bisa mengemudikan sendiri. Saya juga sudah dapat sertifikat yang saya peroleh secara gratis setelah mendapat pelatihan sebagai warga orang terkena dampak Jatigede," katanya.

Menurutnya, kesulitan utama saat mengemudikan perahu di Jatigede banyak sampah yang menempel dan tergulung baling-baling perahu.

"Mungkin karena belum dalam dan banyak pohon yang belum terendam sehingga kadang sampah dari sisa dauh masuk ke baling-baling dan harus dibersihkan dulu," kata Kandar yang sudah pandar mengatur dan hapal arah di Bendungan Jatigede ini. (*)

Naskah ini juga bisa dibaca di edisi cetak Tribun Jabar, Jumat (6/5/2016). Ikuti berita-berita menarik lainnya melalui akun twitter: @tribunjabar dan fan page facebook: tribunjabaronline.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved