Hari Kartini 2019: Nasib Kurang Beruntung Para Cicit Raden Adjeng Kartini, Jadi Tukang Ojek di Bogor
Ada 5 cicit Kartini dan dari kelimanya, hanya satu cicit yang memiliki perekonomian lumayan bagus, yakni yang bernama Kartini.
TRIBUNJABAR.ID, JEPARA - Raden Adjeng Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Berkat perjuangannya itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Mengutip dari Wikipedia disebutkan bahwa Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, yang lahir pada 21 April 1879.
Wanita dengan nama lengkap Raden Ayu Kartini Djojo Adhiningrat ini, dijodohkan dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Bisa dilihat bahwa garis keturunan RA Kartini adalah keturunan bangsawan.
Raden Adjeng Kartini dikaruniai anak pertama, dan sekaligus anak terakhir bernama Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada 13 September 1904.
Karena beberapa hari setelah melahirkan, tepatnya pada 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun.
Diberitakan oleh Kompas.com, putra Kartini, Soesalit Djojoadhiningrat menikahi seorang wanita bernama Siti Loewijah.
Boedi Soesalit ini lalu menikah dengan seorang perempuan bernama Sri Bidjatini,dan dikaruniai lima orang anak.
Kelima anak mereka bernama Kartini, Kartono, Rukmini, Samimum dan Rachmat.
Namun, sejak ayah mereka meninggal, kehidupan cicit Kartini ini jauh dari kata sejahtera.
Dari kelima cicit itu, cicit yang bernama Kartini yang memiliki kehidupan yang ekonominya relatif baik.
Cicit bernama Kartono dan Samimum diketahui berprofesi sebagai tukang ojek, sedangkan Rukmini telah ditinggal mati suaminya.
Kehidupan ekonomi Rukmini juga sangat memprihatinkan.
Cicit yang paling muda Rahcmat, diketahui telah meninggal dunia.
Para cicit Kartini ini tidak tinggal di tanah kelahiran nenek buyut mereka, mereka semua menetap di rumah bantuan pemerintah di daerah Parung, Bogor.
Akan tetapi, setelah kematian sang ayah, mereka diminta untuk meninggalkan rumah bantuan pemerintah tersebut, karena dianggap sudah tidak berhak lagi. (*)