Rupiah Melemah

Polemik Rupiah Melemah, Bakal Lebih Krisis dari 1998?

Dirinya juga menyindir Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dengan memberikan ucapan selamat.

Penulis: Fauzie Pradita Abbas | Editor: Fauzie Pradita Abbas
kontan
Ilustrasi penukaran uang 

TRIBUNJABAR.ID - Tren pelemahan rupiah yang levelnya hampir mencapai Rp 15.000 per dollar AS dinilai sebagai cerminan bahwa ada yang tidak beres dengan perekonomian Indonesia belakangan ini.

Dilansir dari kompas.com, pernyataan pemerintah yang selalu menitikberatkan pelemahan rupiah pada faktor eksternal dilihat tidak semata-mata karena hal itu.

Melainkan ada faktor dari dalam negeri yang tidak kalah penting hingga menyebabkan terjadinya kondisi seperti sekarang.

"Potensi untuk terjadi krisis seperti tahun 1997 dan 1998, memang tidak semua sama dengan kondisi saat itu. Tapi, yang harus diperhatikan, kalau Pak Darmin (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) dan Bu Menteri Keuangan menyampaikan ini masih aman, juga tidak betul," kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati dalam tayangan Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Selasa (4/9/2018).

Enny menjelaskan, melihat baik tidaknya kondisi ekonomi harus secara menyeluruh, tidak bisa dari satu sisi semata.

Seperti melihat faktor pendorong terjadinya krisis ekonomi, di mana Indonesia mengalaminya pada tahun 1997 dan 1998, agar tidak dilihat hanya dari faktor nilai tukar.

Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, kata Enny, berbagai sektor perekonomian Indonesia atau sektor keuangan secara keseluruhan, masih relatif sehat.

Namun, lanjutnya, ada indikator lain yang memerlukan penanganan cepat pemerintah agar dampak buruk bisa lebih diredam.

"Salah satu ukurannya dari cadangan devisa. Kalau semua orang menarik utangnya hari ini, cadangan devisa kita tidak cukup. Rasio cadangan devisa terhadap utang kita 72 persen, di bawah 100 persen," tutur Enny.

Di saat bersamaan, Ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Rizal Ramli konsisten menyampaikan status perekonomian Indonesia lampu kuning atau harus berhati-hati.

Rizal Ramli
Rizal Ramli (Kolase Tribun Jabar)

Dasar pernyataan tersebut dari sejumlah indikator ekonomi makro yang negatif.

Indikator yang dimaksud adalah defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, keseimbangan primer yang masih negatif, hingga defisit APBN.

"Fundamental tidak kuat karena semua indikator itu negatif. Kalau kuat, semuanya mengarah ke arah positif," ujar Rizal.

Rizal turut membandingkan kondisi ekonomi Indonesia waktu krisis tahun 1998 silam dengan saat ini.

Kala itu, meski dilanda krisis, Indonesia mendapat manfaat positif dari melonjaknya peningkatan ekspor yang dampaknya baik untuk mendorong perekonomian dalam negeri.

Sementara saat ini, Rizal menilai Indonesia tidak bisa mendapatkan keuntungan sebesar itu dari ekspor.

Malahan, impor justru tumbuh lebih tinggi dibanding ekspor yang membuat neraca perdagangan lebih banyak mengalami defisit sejak awal tahun.

"Saat krisis, lonjakan ekspor besar sekali. Tapi hari ini kita tidak punya bantalan lagi. Rupiah melemah tidak ada dampaknya terhadap ekspor," ucap Rizal.

Selain itu, Rizal juga menyoroti upaya pemerintah menyikapi pelemahan rupiah dengan pengendalian 900 komoditas impor barang konsumsi.

Menurut dia, ketimbang menyisir ratusan komoditas impor barang konsumsi seperti itu, lebih baik fokus pada impor yang jumlahnya besar, misalkan 10 komoditas impor terbesar.

"Ngapain ribet-ribet sampai 900, tinggal pilih 10 saja yang besar-besar. Inilah makanya saya lihat menteri-menteri Pak Jokowi jangan cuma sampaikan yang bagus-bagus, tapi kondisi yang sebenarnya," kata Rizal.

Bank Indonesia sebelumnya menyampaikan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hingga hari Selasa mengalami depresiasi di kisaran 7 sampai 8 persen sejak awal tahun.

Cadangan devisa juga telah tergerus 13,7 miliar dollar AS, dengan posisi Januari 132 miliar dollar AS dan terakhir bulan Juli sebesar 118,3 miliar dollar AS.

Pernyataan Sri Mulyani Basi!

Rizal Ramli sempat menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait upaya pemerintah menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Hal ini dikemukakan Rizal Ramli melalui Twitter miliknya, @RamliRizal, Senin (3/9/2018).

Awalnya, Rizal Ramli membalas cuitan seorang netizen dengan akun @Sahabat_Bangsa yang mentautkan pemberitaan upaya pemerintah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Dalam pemberitaan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan sejumlah menteri ekonomi, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membahas kondisi perekonomian Indonesia.

Usai pertemuan itu, Sri Mulyani mengatakan jika akan terus bekerja bersama-sama dengan BI dan OJK untuk menekan nilai tukar rupiah.

Menanggapi hal itu, Rizal Ramli mengatakan jika pernyataan Sri Mulyani hanya sebatas mekanisme koordinasi.

Menurut dia, hal itu tidak jelas dan cenderung tidak berisi.

Mantan Menteri Keuangan itu mengatakan jika resiko ekonomi makro semakin tinggi.

"Jawaban dan penjelasan stuntgirl sangat ‘stunning’, tapi hanya soal mekanisme koordinasi, basi Ndak jelas, ndak ada isinya. Gini kok ngaku mau antisipatif ? Where have you been, kemenong aja ? sementara resiko ekonomi makro makin tinggi!" tulis Rizal Ramli.

Postingan Rizal Ramli
Postingan Rizal Ramli (Capture Twitter)

Sementara itu diberitakan Tribunnews, pertemuan yang dilakukan Presiden Jokowi dengan sejumlah menteri ekonomi, BI dan OJK itu membahas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Posisi rupiah hari ini berada di kisaran Rp 14.800-an per dolar AS.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, pergerakan nilai tukar rupiah saat ini terkena sentimen global, seperti krisis mata uang di Argentina yang terkadang dikombinasikan dengan negara lain.

"Karena situasi di sana belum akan selesai maka kita harus antisipasi bahwa tekanan ini akan terus berlangsung," ujar Sri Mul‎yani di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (3/8/2018).

Untuk menekan imbas kondisi eksternal, kata Sri Mulyani, pemerintah bersama otoritas moneter dan OJK bersinergi dalam menjaga kondisi nilai tukar, pasar surat berharga, hingga sektor riil.

"Untuk saat ini fokus pemerintah masih tetap untuk bagaimana mengurangi sentimen yang berasal dari neraca pembayaran, seperti diketahui selama ini yang disebut sebagai salah satu sumber sentimen dari perekonomian Indonesia adalah kondisi dari transaksi berjalan dan neraca perdagangan," paparnya.

Dalam menjaga neraca perdagangan tetap baik, dari kebijakan jangka pendek yaitu melakukan pengendalian dari sisi kebutuhan devisa dan telah disepakati secara bersama agar memilah komoditas yang selama ini diimpor.

"Kita akan bersama-sama dengan Bank Indonesia dan OJK melalui forum KSSK (Komite Stabilisasi Sistem Keuangan) akan terus meneliti dan memonitor secara detail tingkah laku dari para pelaku pasar mana-mana yang memang membutuhkan transaksi yang sifatnya legitimate, mereka membutuhkan untuk keperluan industrinya atau transaksi yang tidak legitimate," pungkas dia.

Anggota DPR Protes pada Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai konfrensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (2/1/2018).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai konfrensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (2/1/2018). (KOMPAS.com/PRAMDIA ARHANDO JULIANTO)

DPR menggelar agenda rapat paripurna pembahasan RAPBN 2019 pada Selasa (4/9/2018) siang yang turut dihadiri pemerintah melalui Kementerian Keuangan.

Ketika rapat baru mau dimulai, ada interupsi dari sejumlah anggota Dewan yang berasal dari fraksi partai oposisi dan disampaikan langsung kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di ruang rapat.

"Terkait kurs mata uang asing yang kini sudah mencapai hampir mendekati Rp 15.000, ini selalu dikatakan Pak Presiden di hadapan rakyat bahwa kondisi ini adalah kondisi yang tidak perlu dikhawatirkan. Ini untuk diketahui, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena begitu banyak komoditas pangan kita yang impor," kata anggota dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo, selaku yang pertama kali mengajukan interupsi.

Menurut Bambang, Indonesia sangat rentan terhadap tren pelemahan rupiah.

Bahkan, Bambang menyebut Indonesia sebagai negara yang terparah terkena dampak pelemahan rupiah.

"Selalu Pak Presiden mengatakan bahwa kurs dollar AS menguat di beberapa negara. Memang benar, ada pengaruhnya di beberapa negara, tetapi kondisi yang dialami Indonesia adalah yang terparah," tutur Bambang.

Anggota Dewan lain, yakni Michael Wattimena dari Fraksi Partai Demokrat, mengingatkan Sri Mulyani akan bahaya krisis ekonomi seperti tahun 1998 silam.

Michael juga mempertanyakan kenapa di tengah gejolak perekonomian saat ini pemerintah tidak mengajukan APBN Perubahan seperti yang dilakukan tahun 2015 lalu.

"Ibu Menteri juga selalu bilang tekanan terhadap nilai tukar dikarenakan kondisi di negara lain, kayak Turki, Argentina. Nanti minggu depan ada negara lain yang krisis, kita menyalahkan kondisi mereka lagi, tolong ini dijelaskan secara jujur, Bu Menteri," ujar Michael.

Anggota Dewan lainnya dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Haerudin, menyinggung tentang risiko utang yang dinilai berpotensi meruntuhkan stabilitas negara.

Haerudin meminta agar beban utang pemerintah jangan terlalu besar.

Sejumlah pandangan itu belum ditanggapi Sri Mulyani karena pimpinan sidang, Agus Hermanto, minta agar agenda sidang dilanjutkan terlebih dahulu.

Sri Mulyani pun mulai membacakan tanggapan pemerintah terhadap masukan sejumlah fraksi atas RAPBN 2019 dalam rapat paripurna sebelumnya.

Tagih Janji Jokowi

Fraksi Partai Gerindra menagih janji target pertumbuhan ekonomi oleh Presiden Joko Widodo sebesar 7 persen dalam Rapat Pandangan Umum Fraksi Atas RAPBN 2019 di DPR RI, Selasa (28/8/2018) siang.

Anggota Fraksi Gerindra yang menyampaikan pandangan umum fraksinya, Ramson Siagian, awalnya mengomentari target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2019 sebesar 5,3 persen yang lebih rendah dibanding tahun 2018 yang mencapai 5,4 persen.

"Setelah tiga tahun (pemerintahan Jokowi), pertumbuhan ekonomi hanya 5,1 persen.

Padahal pada kampanye, Jokowi-JK menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7 persen, tapi sampai tahun terakhir Kabinet Kerja masih jauh dari janji saat kampanye," kata Ramson di hadapan peserta rapat.

Ramson mengungkapkan, dengan realisasi terdahulu yang masih jauh dari janji kampanye, Gerindra jadi meragukan target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,3 persen bisa tercapai.

Gerindra turut mendorong agar pemerintah bisa tetap konsisten melaksanakan apa yang telah direncanakan dalam RAPBN 2019, meski bersamaan dengan tahun politik.

"Gerindra masih tanda tanya, apakah pertumbuhan 5,3 persen (tahun 2019) bisa direalisasikan atau tidak. RAPBN 2019 tahun terakhir pemerintahan Jokowi-JK, rakyat akan mengamati dan melihat bagaimana kebijakan dalam RAPBN 2019 akan tetap konsisten," tutur Ramson.

Kritik terhadap pertumbuhan ekonomi turut disampaikan fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Anggota yang menyampaikan pandangan umum PKS, Adang Sudrajat, menyebut pemerintah terkesan tidak yakin dengan target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 yang lebih rendah atau di bawah dari target tahun 2018.

"Target pertumbuhan ekonomi RAPBN 2019 turun dari target pertumbuhan ekonomi 2018, menunjukkan pemerintahan makin tidak optimistis," ujar Adang.

Diminta Mundur

Ketua Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean memberikan tanggapan terkait dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat.

Hal ini disampaikan melalui laman Twitternya @LawanPoLitikJW, Selasa (4/9/2018).

Ferdinand meminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pengunduran diri sebelum negara terbengkalai karena penguatan dolar AS.

Ferdinand yakin rakyat tidak mau menjadi korban karena pemerintah telah salah dalam mengurus negara.

"Jika pemerintah sudah tak punya kebijakan lagi untuk menahan laju dolar, sebaiknya sebelum negara ini mangkrak, kami minta Jokowi umumkan pengunduran diri.

Bangsa ini ada 260 jt lebih manusia, saya yakin mereka tidak mau jadi korban hanya karena pemerintah salah urus negara," tulis Ferdinand melalui akun Twitternya @LawanPoLitikJW.

Unggahan Ferdinand Hutahaean dalam Twitter
Unggahan Ferdinand Hutahaean dalam Twitter (Twitter @LawanPoLitikJW)

Pada unggahan sebelumnya, Ferdinand juga memberikan komentar terkait melemahnya nilai tukar rupiah yang  mencapai Rp 15.029 per dolar AS.

Ferdinand mempertanyakan soal intervensi dari Bank Indonesia.

Dirinya juga menyindir Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dengan memberikan ucapan selamat.

Dalam unggahan tersebut, Ferdinand menyertakan foto rupiah dalam kurs dolar.

Grafik ini menunjukkan tdk ada penurunan. Artinya bahwa intervensi sdh tak mampu menahan laju Dolar. Atau kah mungkin sama sekali tidak ada intervensi dr BI? Selamat untuk pak Jokowi atas prestasi ini. Bapak menyamai Soeharto, SBY dulu tak mampu bikin Dolar 15 rb." tulis akun @LawanPoLitikJW.

Unggahan Ferdinand Hutahaean pada Twitter
Unggahan Ferdinand Hutahaean pada Twitter (Twitter @LawanPoLitikJW)

Diberitakan sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menembus angka Rp 15.029, pada Selasa (4/9/2018) malam.

Seperti dikutip dari Kursdollar.net, hingga pukul 19.20 WIB nilai tukar rupiah mencapai Rp 15.029 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Capture/kursdollar.net)
Sebelumnya pada penutupan perdagangan kemarin, Senin (3/9/2018), menurut data Bloomberg.com, rupiah melemah ke level Rp 14.815 per dolar AS.

Bloomberg mengestimasi, hari ini, Selasa (4/9/2018), kurs rupiah akan bergerak pada kisaran Rp 14.780 hingga Rp 14.845 per dolar AS.

Dikutip dari bi.go.id, hingga Selasa (4/9/2018), nilai tukar rupiah mencapai Rp 14.840 per dolar AS berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor).

Sedangkan kurs transaksi Bank Indonesia menunjukkan Rp 14.914 per dolar AS untuk kurs jual dan Rp14.766 untuk kurs beli.

Apa Kata Jokowi?

Presiden Joko Widodo menegaskan, pelemahan nilai tukar terhadap dollar Amerika Serikat bukan hanya terjadi terhadap rupiah saja, tetapi juga mata uang negara lain.

"Tidak hanya negara kita, Indonesia, yang terkena pelemahan kurs, tidak hanya Indonesia," ujar Jokowi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (5/9/2018).

Menurut Jokowi, pelemahan rupiah saat ini lebih disebabkan sentimen dari eksternal, seperti kenaikan suku bunga The Fed, perang dagang antara China dan Amerika Serikat, dan krisis yang melanda Turki serta Argentina.

"Ini faktor eksternal yang bertubi-tubi. Saya kira yang paling penting kita harus waspada, kita harus hati-hati," ujar Jokowi.

Untuk menguatkan rupiah kembali, menurut Jokowi, pemerintah akan terus meningkatkan koordinasi di sektor fiskal, moneter, industri, dan para pelaku usaha.

"Saya kira koordinasi yang kuat ini menjadi kunci sehingga jalannya itu segaris semuanya," ujar Jokowi.

Jokowi juga memberikan target kepada jajarannya untuk segera memperbaiki transaksi berjalan dengan menggenjot ekspor dan investasi di dalam negeri.

Sebab, saat ini transaksi berjalan mengalami defisit 3 persen.

"Dengan investasi dan ekspor yang meningkat, kita bisa menyelesaikan defisit transaksi berjalan, kalau ini selesai, itu akan menyelesaikan semuanya," ujar Jokowi.

"Target saya sudah berikan agar dalam satu tahun, betul-betul ada perubahan di penyelesaian defisit transaksi berjalan," lanjut dia.

Beberapa upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan, kata Jokowi, adalah diterapkannya 20 persen biodiesel atau B20, yang diyakini dapat mengurangi impor minyak cukup besar.

Selain itu, pemerintah juga mendorong tingkat komponen dalam negeri (TKDN) kepada perusahaan BUMN maupun swasta.

"Ini saya sampaikan kepada kementerian, baik ke swasta maupun kepada BUMN, agar lokal konten diperhatikan, kalau bisa pakai semua komponen dalam negeri, ada penghematan 2 miliar dollar AS sampai 3 miliar dollar AS," ujar Jokowi.

Kurs rupiah terhadap dollar AS menyentuh level terendahnya dalam lima tahun terakhir ke posisi Rp 14.935 per dollar AS pada penutupan perdagangan, Selasa (4/9/2018) kemarin.

Mengacu Bloomberg, dengan posisi tersebut, depresiasi kurs rupiah meningkat menjadi 10,18 persen.

Ekonom Tetap Sebut Krisis 1998 Lebih Parah dari Krisis Saat Ini

Rupiah terus melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).

Bahkan sejumlah bank telah menjual mata uang tersebut di level Rp 15.000 per dollar AS. Kondisi itu kemudian menimbulkan anggapan bahwa fundamental ekonomi dalam negeri saat itu lebih buruk dari 1998.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memastikan depresiasi rupiah yang terjadi saat ini berbeda dengan depresiasi rupiah ketika 1998 silam.

"Pelemahan rupiah tahun ini dibandingkan 1998 yg anjloknya 80 persen dari Rp 2.500 secara tiba-tiba ya sangat jauh ya. Selain itu, waktu itu juga tidak ada kenaikan gaji sehingga daya beli masyarakatnya menurun dan harga-harga melonjak tinggi," kata David saat dihubungi Kompas.com, Selasa (4/9/2018).

David menambahkan, meski ada pelemahan sepanjang lebih dari satu semester, tahun ini juga diiringi dengan kenaikan gaji dan harga-harga yang cukup terjaga.

Sementara itu Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan bahwa kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini sangat berbeda dengan fundamental perekonomian Indonesia 20 tahun lalu.

Pada periode tersebut, krisis di Indonesia diawali oleh krisis mata uang Thailand bath dan ditambah buruk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak hati-hati lantaran sebagian utang tersebut tidak mendapatkan lindung nilai.

Selain itu, penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang dan penggunaan utang luar negeri untuk pembiayaan usaha domestik turut memperparah kondisi fundamental ekonomi dalam negeri terpuruk.

"Krisis utang swasta tersebut yang kemudian mendorong tekanan pada rupiah di mana tingkat depresiasinya mencapai sekitar 600 persen dalam kurun waktu kurang dari setahun, dari Rp 2.350 per dollar AS menjadi Rp 16.000 per dollar AS," ujar Josua.

Josua menambahkan, kondisi itu sangat berbeda dengan saat ini.

Menurut dia, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati dimana Bank Indonesia (BI) juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.

"Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah. Dalam jangka pendek, BI akan tetap mengelola stabilitas nilai tukar rupiah dengan melakukan dual intervension di pasar valas dan pasar obligasi," ujarnya.

Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com dari Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS), dan CEIC, rupiah terdepresiasi sangat dalam pada periode September 1997 ke September 1998.

Pada September 1997, rupiah berada di level Rp 3.030 per dollar Amerika Serikat (AS) dan terdepresiasi hingga 254 persen pada September 1998 menjadi Rp 10.725 per dollar AS. Sementara pada September 2017, rupiah ada pada level Rp 13.345 per dollar AS dan melemah hanya 11 persen per tanggal 3 September 2018 menjadi Rp 14.815 per dollar AS.

"Kala pelemahannya seperti 1998, rupiah seharusnya mencapai Rp 47.241 per dollar AS pada September 2018," tulis data tersebut.

Hal lainnya yang kemudian membedakan kondisi rupiah 1998 versus rupiah 2018 adalah dari sisi cadangan devisa atau cadev.

Cadev 1998 tercatat 23,61 miliar dollar AS, sedangkan pada 2018 mencapai 118,3 miliar dollar AS.

Berikutnya adalah peringkat surat utang pemerintah 20 tahun silam adalah junk yang artinya di bawah layak investasi dan kualitasnya jelek.

Sementara pada 2018, peringkat surat utang pemerintah adalah BBB dengan outlook stabil atau layak investasi (investment grade).

Di sisi lain, dari sisi net capital inflow secara kuartalan, kondisi pada kuartal II 2018 jauh lebih baik yakni berada pada angka 4,015 miliar dollar AS.

Kondisi itu jauh lebih baik dibandingkan net capital inflow pada kuartal II 1998 adalah minus 2,470 miliar dollar AS.

Kemudian, dari sisi pertumbuhan ekonomi, pada kuartal II tahun ini cenderung lebih baik ketimbang kuartal II 1998.

Saat pada 1998 pertumbuhan ekonomi minus 13,34 persen dibandingkan kuartal II 1997 atau secara year on year (yoy). Sementara pada kuartal II 2018, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,27 persen yoy.

Tak hanya itu, faktor lainnya yang membuat berbeda kondisi rupiah 1998 dan 2018 adalah inflasi.

Dua dekade lalu, inflasi pada Agustus 1998 menyentuh 78,2 persen yoy, sedangkan inflasi Agustus 2018 hanya 3,2 persen yoy.

Kemudian angka kemiskinan juga menjadi faktor pembeda kondisi ekonomi pada 1998 dan 2018. Setidaknya ada 24,2 persen atau sekitar 49,5 juta orang penduduk miskin pada 1998, sedangkan pada 2018 angka kemiskinan hanya 9,82 persen atau 25,9 juta orang.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved