Pemilu 2019
Pertikaian KPU vs Bawaslu, Koruptor Bersorak-sorai: Ini yang Jadi Sumber Perdebatan
KPU berpegang pada Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual anak menjadi caleg.
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNJABAR.ID - Ironis, memang. Bagaimana bisa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang sama-sama lembaga penyelenggara pemilu “bertikai” dalam soal yang sama: koruptor menjadi calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2019? Koruptor pun bersorak-sorai.
“Pertikaian” KPU versus Bawaslu ini mengingatkan kita akan “pertikaian” antar-lembaga negara yang berada di ranah yang sama, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI versus Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI (legislatif); Mahkamah Agung (MA) versus Komisi Yudisial (KY), dan MA versus Mahkamah Konstitusi (MK) (yudikatif).
KPU berpegang pada Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual anak menjadi caleg.
KPU mengklaim PKPU No 20/2018 ini merupakan turunan dan implementasi dari Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebaliknya, Bawaslu berpegang pada UU No 7/2017 yang tidak melarang mantan narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan seksual anak menjadi caleg asal sudah mendeklarasikan diri soal statusnya itu, sebagaimana dimaksud Pasal 240 ayat (1) huruf g.
Maka, sejumlah caleg mantan koruptor yang sudah dicoret KPU pun diloloskan oleh Bawaslu, termasuk M Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang juga Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta.
Taufik, mantan Ketua KPU DKI, pernah divonis selama 18 bulan penjara pada 27 April 2004 dalam kasus korupsi. Ada 5 caleg lainnya yang diloloskan Bawaslu.
• Daftar Lengkap Peraih Medali Indonesia di Asian Games 2018 dan Rincian Hadiahnya
• Bawaslu Mengaku Berani Loloskan Bacaleg Eks Koruptor Karena Peraturan KPU Bermasalah
Mereka berasal dari Rembang (Jawa Tengah), Pare-Pare dan Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Aceh dan Sulawesi Utara.
Bawaslu berpendapat, PKPU 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan UU No 7/2017, juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Namun, KPU masih melakukan penundaan atas putusan Bawaslu tersebut, sampai judicial review PKPU 20/2018 diputuskan MA.
Judicial review diajukan enam pemohon, yakni M Taufik, Waode Nurhayati, Djekmon Ambisi, Jumanto, Mansyur Abu Nawas, dan Abdul Ghani.
Tapi MA menghentikan sementara proses uji materi PKPU 20/2018 lantaran ada judicial review UU Pemilu terhadap UUD 1945 di MK terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan periode masa jabatan presiden-wapres.
Sejatinya, Bawaslu bisa melakukan koreksi atas keputusan Bawaslu daerah, sebagaimana dimaksud Pasal 95 huruf (h) UU Pemilu, bukannya justru mengamini keputusan mereka. Pasal 95 huruf h menyebutkan, “Bawaslu berwenang melakukan koreksi terhadap putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota jika putusan dan rekomendasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Bawaslu juga tak sepatutnya mengabaikan PKPU yang malarang mantan koruptor menjadi caleg. Pasalnya, PKPU No 14/2018 tentang Pencalonan DPD, dan PKPU No 20/2018 masih berlaku dan sah, karena sudah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.